Saturday, May 28, 2011
Membangun Karakter Bangsa melalui Gerakan Pramuka
Membangun Karakter Bangsa melalui Gerakan Pramuka
DALAM karyanya "Bharatayudha", Empu Sedah dan Empu Panuluh, delapan ratus lima puluh satu tahun yang lalu, tepatnya tahun 1157 telah mengingatkan kita yang hidup sekarang ini dengan mengatakan, "Pulau Jawa adalah tanah yang subur makmur, sangat indah tiada tara, tetapi negara ini sedang menderita sedih, karena dirusak oleh orang-orang jahat, dan para raja yang memerintah tidak mampu menjaganya" (Kompas, 17 Mei 2008).
Peringatan dua pujangga tersebut mengingatkan kita pada beberapa kisah dan informasi berikut ini. Setelah menyelesaikan studi doktor di Amerika, sebelum kembali ke tanah airnya; Indonesia, Nurcholish Madjid menyempatkan diri singgah/pergi ke Timur Tengah guna melaksanakan Umrah. Dalam perjalanannya, beliau ditemani bule perlente yang juga warga negara Amerika. Di tengah perjalanan, si bule memaksa supir taxi berhenti, kemudian si bule pun turun, tentunya setelah membayar ongkos perjalanannya. Sesampai di tempat tujuan, Cak Nur bertemu kembali dengan si bule tadi, seraya bertanya, "kenapa tadi anda memaksa untuk diturunkan di tengah jalan? Si bule menjawab, "karena saya ketahui setelah berada dalam taksi ini, supirnya adalah orang Indonesia. Lalu kenapa? Ada persoalan apa anda dengan orang Indonesia? Si bule kembali menjawab dalam nada bertanya, bukankah orang Indonesia karakter suka menipu?
Anthony Giddens mengatakan pada umumnya orang Asia suka pesta dan bersolek. Referensi lain; Ensiklopedia Britania, penulis temukan dan baca sebuah entry tentang "Malay", disana disebutkan bahwa orang Melayu, salah satu suku bangsa negeri ini (menurut Amien Rais, maksudnya orang Indonesia) adalah pemalas, boros dan beberapa karakter negatif lainnya. Mochtar Lubis menambahkan beberapa ciri atau karakter manusia Indonesia; "(1) hipokrit atau munafik; lain di mulut dan lain di hati; (2) enggan bertanggung jawab; (3) mental menerabas, ingin kaya tanpa usaha, ingin pintar tanpa belajar; (4) feodalistik; (5) masih percaya tahyul; (6) artistik/penampilan/bergaya (7) berwatak lemah sehingga dengan mudah dirubah keyakinannya demi kelangsungan hidup. Dan karakter tambahan; (1) senang bernostalgia/efouria masa lalu; (2) cepat marah; (3) tukang lego untuk ditukar dengan yang lain asal dapat uang tunai."
Kita pun menjadi semakin bersedih, ketika membaca sebuah artikel yang ditulis oleh MT. Zen berjudul "Jangan Biarkan Indonesia Jadi Negara Gagal". Pada artikel tersebut dikemukakan beberapa kriteria atau ciri khas yang disepakati di dunia ini mengenai sebuah negara gagal, sepertinya kriteria tersebut sedang terjadi di negeri tercinta saat ini, yakni sebuah negara; (1) terasa tidak ada lagi jaminan keamanan; (2) pemerintah seakan-akan tidak lagi dapat menyediakan kebutuhan pokok; (3) korupsi merajalela dan justru dilakukan oleh lembaga yang sebenarnya memiliki tugas pokok melindungi rakyat, masyarakat dan negara terhadap gangguan korupsi; (4) bentrokan horizontal diantara kelompok etnisitas yang sebenarnya tidak perlu terjadi; (5) kehilangan kepercayaan yang merata dan menyeluruh dari masyarakat (Kompas, 14 mei 2008).
Sudahlah, terlalu banyak untuk disebutkan bukti-bukti dekadensi moral dan lemahnya karakter anak bangsa pada kolom opini terbatas ini. Lembaga pendidikan dan pemberdayaan masyarakat sudah tidak terhitung jumlahnya yang telah melakukan upaya ke arah perbaikan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ini, namun hasilnya sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Meskipun demikian, janganlah berputus asa, sejelek apapun karakter bangsa ini. Ia adalah tanah air, bangsa, dan negeri kita sendiri. Mungkin ada diantara mereka anak kandung dan saudara/i kita sendiri. Kondisi tersebut di atas membuat salah seorang pujangga, Taufik Ismail merasa "Malu Menjadi Orang Indonesia". Mengapa harus malu? Mari kita hapus rasa malu ini dengan memikirkan kembali pendidikan, yakni menjadikan pendidikan lebih bermakna dan pendidikan berbasis karakter.
Mahatma Gandhi mengatakan, "kualitas karakter adalah satu-satunya faktor penentu derajat seseorang dan bangsa". Dan membangun karakter (character building) telah menjadi keinginan semua orang, terutama para pendiri bangsa ini. Karakter yang baik lebih dari sekedar perkataan, melainkan sebuah pilihan yang membawa kesuksesan. Ia bukan anugerah, melainkan dibangun sedikit demi sedikit, dengan pikiran, perkataan, perbuatan, kebiasaan, keberanian usaha keras, dan bahkan dibentuk dari kesulitan hidup", dikutip dari Maxwell (2001) dalam bukunya "The 21 Indispensable Qualities of A Leader".
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutan peringatan Hari Pendidikan
Nasional di Universitas Airlangga, Senin 12 Mei 2008 yang lalu mengingatkan bahwa, "ke depan bangsa ini harus meningkatkan kemandirian, daya saing dan peradaban bangsa. Untuk itu pendidikan harus bertujuan mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi, serta membentuk nilai dan karakter bangsa yang unggul yang dicirikan antara lain; ulet, tangguh, sanggup menghadap tantangan, saling menyayang dan menghormati, dan toleransi."
Usaha membentuk karakter yang baik bukan pekerjaan mudah, memerlukan pendekatan komprehensif yang dilakukan secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan yang dimulai dari sejak kecil di lingkungan keluarga. Sayangnya pendidikan dalam keluarga (informal) ini belum memperoleh pencerahan yang baik, dibanding penyelenggaraan pendidikan pada jenjang lainnya. Ada dua hal penting yang mesti diperhatikan ketika membangun kakarter bangsa ini, yakni melalui; (1) pembiasaan; dan (2) contoh atau tauladan. Stephen Covey mengatakan, "Karakter kita pada dasarnya disusun dari kebiasaan-kebiasaan kita," dikutip dari Paul G. Stoltz (2003) dalam bukunya "Adversity Quotient @ Work.
Demikian pula keteladanan, Abdullah Nashih Ulwan (1999) dalam bukunya "Tarbiyatul Aulad fil Islam" mengatakan keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil atau membekas dalam mempersiapkan dan membentuk karakter, moral, spritual dan etos sosial anak. Allah SWT mengingatkan dalam firmannya QS 2:44; "Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri atas kewajibanmu, padahal kamu membaca al-Kitab, maka tidakkah kamu berpikir?" sebelum kita semakin jauh, kita akan menengok sebetulnya apa sih itu karakter ?
Orang cerdas kerap hanya menjadi pelayan bagi mereka yang memiliki gagasan, dan orang-orang yang memiliki gagasasan besar melayani mereka yang memiliki karakter yang sangat kuat, sementara orang yang memiliki karakter kuat melayani mereka yang berhimpun pada diri mereka karakter yang sangat kuat, visi yang besar, gagasan-gagasan yang cemerlang, dan pijakan idelogi yang kukuh.
Kalimat di depan yang dipakai Muhammad Fauzi Adhin ketika beliau mengawali pembahasan tentang membangun karakter positif pada anak dalam salah satu buku beliau. Begitunya pengaruh karater dalam kehidupan. Namaun sebelum berbicara lebih jauh, ada baiknya kita memahami arti dari karakter tersebut. Secara bahasa, karakter berasal dari bahasa Yunani Charassein, yang artinya Mengukir. Dari arti bahasa ini, saya ingin menunjukkan kepada Anda tentang apa yang dimaksud dengan karakter.
Sifat utama ukiran adalah melekat kuat di atas benda yang diukir. Tidak mudah usang tertelan waktu atau aus terkena gesekan. Menghilangkan ukiran sama saja dengan menghilangkan benda yang diukir itu. Sebab, ukiran melekat dan menyatu dengan bendanya. Ini berbeda dengan gambar atau tulisan tinta yang hanya disapukan di atas permukaan benda. Karena itulah, sifatnya juga berbeda dengan ukiran, terutama dalam hal ketahanan dan kekuatannya dalam menghadapi tantangan waktu. Tulisan dan gambar akan mudah hilang, sehingga tidak meninggalkan bekas sama sekali. Sampai-sampai orang tidak akan pernah menyangka kalau di atas benda yang berada di hadapannya itu pernah terdapat tulisan dan gambar.
Karakter sebagai suatu kondisi yang diterima tanpa kebebasan dan karakter yang diterima sebagai kemampuan seseorang untuk secara bebas mengatasi keterbatasan kondisinya ini membuat kita tidak serta merta jatuh dalam fatalisme akibat determinasi alam, ataupun terlalu tinggi optimisme seolah kodrat alamiah kita tidak menentukan pelaksanaan kebebasan yang kita miliki. Melalui dua hal ini kita diajak untuk mengenali keterbatasan diri, potensi-potensi, serta kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan kita. Untuk itulah, model tipologi yang lebih menekankan penerimaan kondisi natural yang dari sononya tidak cocok. Cara-cara ini hanya salah satu cara dalam memandang dan menilai karakter.
Karena itu, tentang karakter seseorang kita hanya bisa menilai apakah seorang itu memiliki karakter kuat atau lemah. Apakah ia lebih terdominasi pada kondisi-kondisi yang telah ada dari sononya atau ia menjadi tuan atas kondisi natural yang telah ia terima. Apakah yang given itu lebih kuat daripada yang willed tadi. Orang yang memiliki karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas yang telah ada begitu saja dari sononya. Sedangkan, orang yang memiliki karakter lemah adalah orang yang tunduk pada sekumpulan kondisi yang telah diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya. Orang yang berkarakter dengan demikian seperti seorang yang membangun dan merancang masa depannya sendiri. Ia tidak mau dikuasai oleh kondisi kodratinya yang menghambat pertumbuhannya. Sebaliknya, ia menguasainya, mengembangkannya demi kesempurnaan kemanusiaannya.
Orang yang terlalu dikuasai oleh situasi kondisi yang dari sononya itu, dalam tingkatan yang paling ekstrem bisa jatuh dalam fatalisme. Ekspresi umum orang seperti ini adalah, “karakter saya memang demikian. Mau apa lagi?” “Saya menjadi demikian ini sudah dari sono-nya. Inilah takdir dan keberuntungan hidup saya”. Semua ini seolah ada di luar kendali dirinya. Karena itu tidak ada gunanya lagi mencoba mengatasinya. Sebab jika sesuatu itu telah ditentukan dari sononya, manusia ini hanya semacam wayang yang tergantung dari gerakan tangan sang dalang. Kalau saatnya masuk kotak ya kita tinggal masuk kotak saja. Saat tampil, ya kita tampil. Fatalisme seperti ini sangat kontraproduktif dengan cita-cita sebuah pendidikan yang merupakan sebuah intervensi sadar dan terstruktur agar manusia itu semakin dapat memiliki kebebasan sehingga mampu lebih gesit dan lincah dalam menempa dan membentuk dirinya berhadapan dengan determinasi alam dalam dirinya.
Manusia memiliki struktur antropologis yang terbuka ketika berhadapan dengan fenomena kontradiktif yang ditemukan dalam dirinya, yaitu, antara kebebasan dan determinasi, antara karakter yang stabil dengan ekspresi periferikal atasnya yang sifatnya lebih dinamis dan mudah berubah.
Dengan gambaran manusia seperti ini, Mounier menegaskan bahwa individu itu selalu bergerak maju mengarah ke masa depan. Aku bukanlah sekumpulan masa laluku. Aku adalah sebuah gerak menuju masa depan, yang senantiasa berubah menuju kepenuhan diriku sebagai manusia yang lebih besar. Aku adalah apa yang dapat aku kerjakan, aku lakukan, yang membuatku menjadi seperti yang aku ingini. Aku mengatasi apa yang ada dalam diriku saat ini. Aku adalah apa yang masih bisa aku harapkan daripada sekedar hal-hal yang telah aku peroleh selama ini. Jadi, manusia memiliki kemampuan untuk berharap dan bermimpi, sebab harapan dan impian ini merupakan semacam daya dorong yang membuatnya mampu secara optimis menatap masa depan dengan mempertimbangkan daya-daya aktualnya yang sekarang ini ia miliki.
Karakter merupakan struktur antropologis manusia, tempat di mana manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur antropologis ini melihat bahwa karakter bukan sekedar hasil dari sebuah tindakan, melainkan secara simultan merupakan hasil dan proses. Dinamika ini menjadi semacam dialektika terus menerus dalam diri manusia untuk menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasannya. Karakter merupakan kondisi dinamis struktur antropologis individu, yang tidak mau sekedar berhenti atas determinasi kodratinya melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya demi
Berarti sesungguhnya karakter itu sesungguhnya sudah ada di dalam diri seseorang, namun dalam perjalanan kehiduan karakter itu akan menampilkan sosok nya dalam tingkah laku manusia yang dapat di evaluasi. Dalam dalam hal ini kita dapat mengatakan karakter itu baik atau buruk.
Terkait pembangunan karakter, sejumlah hal yang harus diperhatikan, dikembangkan dan diolah. Pramuka membangun akhak anak bangsa yang baik, berbudi pekerti, berpikir positif, tangguh, percaya diri tetapi tidak takabur, disiplin, inovatif dan rukun serta memiliki kesetiakawanan. Betapa pentingnya gerakan pramuka, apalagi di era globalisasi seperti sekarang ini. Ada tiga pilar utama menuju bangsa yang maju yang berkaitan langsung dengan gerakan pramuka adalah membangun pradaban yang mulia. Salah satu hal yang penting dalam membangun pradaban bangsa yang mulia adalah membangun karakter. Pembangunan karaketr itu bisa dilakukan didalam gerakan pramuka dengan berjenis latihan dan keterampilan yang dimiliki.
Sebagai organisasi sosial gerakan pramuka menitik beratkan pada pembinaan mental dan disiplin yang tinggi kepada para anggotanya. Pramuka terbukti mampu melahirkan generasi-generasi muda atau tunas-tunas bangsa yang tangguh dan bertanggung jawab. Olih karenanya gerakan pramuka harus terus ditumbuhkan dan dikembangkan dikalangan anak dan kaum muda. Gerakan pramuka adalah mendidik anak dan kaum muda agar berwatak dan berkepribadian luhur serta memiliki jiwa bela negara yang andal. Pendidikan pramuka berperan sebagai komplemen dan suplemen terhadap pendidikan formal. Untuk mencapai maksud tesebut dilaksanakan kegiatan kepramukaan melalui proses pendidikan yang menyenangkan dengan menggunakan prinsip dasar dan metode kepramukaan. Gerakan pramuka sangat baik dalam pembentukan ''human character building'' (pembentukan karakter manusia) yang terbukti mampu menciptakan insan yang mandiri dan bertanggung jawab. Untuk mewujudkan semuanya itu agar tiap-tiap jenjang pendidikan memasukkan pendidikan gerakan pramuka diantaranya bisa dimasukkan dalam pendidikan pengembangan diri, ekstrakurikuler atau yang sejenisnya. Dikatakan juga gerakan pramuka mencakup seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara yang tertuang dalam Dasar Dharma Pramuka.